KAPAL PEMUDA
ASEAN-JEPANG
episode perjalanan musim
gugur
oleh NISA
“Musim gugur adalah musim semi kedua ketika
daun-daun ibarat bunga”, saya sudah lama jatuh hati dengan kalimat ini, sebuah
prase dari seorang penulis Perancis, Albert Camus. Ingin sekali melihat musim
gugur, seperti apa indahnya musim gugur itu, seperti apa daun-daun ibarat
bunga-bunga yang bersemi.
Welcome
reception di hall The New Otani Hotel Tokyo.
|
Teman-teman heran kenapa saya
suka musim gugur, sedangkan kebanyakan orang pasti akan memilih musim semi,
apalagi musim semi di Jepang, negeri bunga sakura. Akhir Oktober 2010, saya
tiba di Tokyo jam 8 pagi, saat itu memang musim gugur. Sebuah perjalanan yang
tak pernah terbayangkan, berada di negeri yang berbeda dari negeri sendiri, bersama
teman-teman dari 27 propinsi membawa nama Indonesia. Terlebih dari itu, The Ship for South East Asian Youth Program
atau SSEAYP yang mengantarkan saya ke negeri matahari terbit ini, membuat saya
merasakan sebuah proses pencapaian yang berarti, rasa-rasa memang seperti mimpi.
Merahnya musim gugur di Tokyo.
|
Musim yang indah. Daun-daun
berubah dari kuning ke merah, merah ke coklat, namun musim gugur ternyata
sangat dingin; 10 derajat celcius pagi-pagi di Tokyo, dan angin merontokkan
daun-daun kering di ranting yang bergetar. Aktivitas begitu padat; institusional visit, art perform, discussion group presentation, exhibition
day, ditemani hujan yang sering turun sore-sore, kami diberi kesempatan
satu hari menikmati kota.
Kontingen Indonesia berjumlah 27
IPY (Indonesia Participating Youth)
dan 1 National Leader (NL). Ada ratusan
pemuda dari 10 negara ASEAN dan Jepang, masing-masing partisipan dibagi dalam kelompok
diskusi (DG) dan grup solidaritas (SG). Saya tergabung dalam Youth Development, kelompok yang
mendiskusikan semua tentang kepemudaan di negara ASEAN-Jepang.
Youth Development saat berkunjung ke YMCA, sebuah
organisasi pemuda kristiani.
Solidarity Group,
saya tergabung dalam kelompok Wakayama Perfecture, daerah pantai barat Jepang. Dua
jam di atas awan dengan pesawat yang berusaha melewati hujan badai akhirnya
sampai, disambut oleh Walikota Wakayama yang ramah dan disuguhi buah-buah
tropis tanpa biji. Keesokan harinya berkunjung ke Wakayama University dan
menikmati tea ceremony serta belajar
memanah bersama local youth, adalah
waktu-waktu yang manis bukan?
Homestay Program di
Wakayama kurang lebih 3 hari.Homestay
mate saya waktu itu bersama Sherry, perwakilan Singapura. Kami tinggal
bersama keluarga Seiko yang memiliki 3 anak beranjak remaja; Haruka yang sulung
pandai bermain piano dan taiko, musik
pukul tradisional Jepang. Taiyo-chan atlit Kendo
dan Yumemi paling bungsu serta Obachan dan Ojichan, nenek-kakek yang suka
tertawa.
Makan malam bersama foster family di Wakayama Perfecture, pertama kali saya makan telur mentah yang enak.Kamar Saya dan Sherry |
Esoknya kami dibawa ke Mount Koya atau Koya San orang menyebutnya, tempat peribadatan Buddha. Banyak biksu
dengan balutan kain kuning oranye dan makanan vegetarian tentu saja :D .
Koya San Temple, pusat Buddha di dataran tinggi Wakayama.
Musim gugur yang senyap di Koya San Temple, pohon-pohon tinggi membuat saya kangen kampung halaman
|
.
Meski hanya sebentar, kenapa
begitu berat saat-saat berpisah. Semoga hubungan kekelurgaan ini akan tetap
terjalin, serupa kenangan yang akan tetap hidup dalam ingatan.
Yumemi-chan si bungsu menyelipkan
album foto di tangan saya ketika menaiki bis kembali ke Tokyo, gambar-gambar
saat di Koya San. Saat itu saya memikirkan persiapan untuk pameran serta
pelayaran Fuji Maru ke negara-negara ASEAN. Tak sabar menunggu homestay berikutnya, har-hari akan
semakin berkesan.“Arigatou Gozaimast.”
Pameran
Indonesia Exhibition Day di National Youth Council Tokyo.
Kedubes RI untuk Jepang, Bapak Lutfi saat Indonesia Exhibition Day.
|
Pelayaran
Fuji Maru
Musim gugur memasuki November adalah
saatnya mulai berlayar dengan Fuji Maru, kapal pesiar Jepang. Lepas sauh dari
Pelabuhan Yokohama menuju negara-negara ASEAN; Malaysia –Thailand –Singapura
–Indonesia –Vietnam -Jepang. Flag Cheers
setiap kontingen negara adalah wajib setiap kali Send Off ceremony meninggalkan pelabuhan dan upacara kenaikan
bendera yang pertama saat itu adalah bendera Jepang.Baru kali itu saya melihat dan
mendengar langsung orang Jepang menyanyikan lagu kebangsaannya yang sendu dan
merdu, saya terharu, saya jadi lebih patriotis.
Culture and Art
performance
Art performance memang puncaknya program ini, salah satu jalan untuk memperkenalkan budaya bangsa di mata masyarakat ASEAN dan Jepang. Di setiap institutional visit saat country program di setiap negara tujuan, setiap kontingen negara harus selalu ada pementasan budaya yang berbeda. Pertukaran budaya, menjalin persahabatan, menjadi bagian keluarga baru, berbagi kisah dengan banyak orang asing, merupakan pesan-pesan kehidupan dari setiap perjalanan.“53 Days”, sebuah lagu yang ditulis seorang partisipan Laos, lagu ini yang sering kami nyanyikan bersama. 53 hari berlayar dengan segala warnanya;matahari terbit hangat, lumba-lumba yang melompat mengiringi kapal, matahari yang terbenam di dalamnya laut, ribuan bintang di luasnya langit malam, gelombang, mendung yang mencekam, sampai tragadi virus yang menyerang banyak partisipan di akhir pelayaran. Musim gugur berakhir, awal musim dingin masa-masa sedih saat itu. Semua acara dibatalkan termasuk farewell party, harus stay di cabindan memakaidouble masker. Kesulitan dan masalah membuat kami dekat dan lebih peduli satu sama lain, “53 days in alife time, we’ll never forget.”
“Another place anothet time”, kalimat yang tertulis di sayap bangau
kertas origamidari Okasan (Ibu). Mungkin suatu hari saya
akan kembali, mengunjungi laut dan pohon-pohon yang pernah membuat saya sangat
rindu kampung halaman, semoga mereka tumbuh lebih kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar